TAMPUI
Karya Trisnawati
Panggung
menunjukkan sebuah siluet. Bayangan pohon-pohon rindang, dan tokoh sedang
memakan buah-buahan. Lampu siluet padam. Lampu menyalakan cahaya temaram,
seolah senja yang berkepanjangan.
(Monolog
dimulai dengan Inai memasuki panggung perlahan, memakai tas ransel di punggung,
di tangan memegang sebuah foto yang tidak diperlihatkan kepada penonton. Di
panggung terdapat tunggul-tunggul kayu yang telah ditebang)
Tampui, Tampui,
Tampui, … sahabatku satu-satunya yang tersisa. Apakah kau masih di sini, ikut menyaksikan
tanah leluhur kita perlahan menghilang. Apakah kau merasakan apa yang
kurasakan? Sunyi yang menganga, menggantikan riuh rendah burung dan pekik kera?
(Ia
menghela napas berat, melipat foto kembali dan memasukkannya ke dalam tas. Lalu
berjalan mengitari panggung dengan sedih seolah sedang mencari sesuatu)
Dulu… dulu
di sini adalah surga. Hutan lebat membentang sejauh mata memandang. Pohon-pohon
menjulang gagah, akarnya menghujam bumi, menjaga tanah kami tetap kokoh. Aku
ingat betul, bagaimana… (matanya menerawang) …Umai berpesan kepadaku.
(Inai
menyentuh tunggul pohon yang tersisa, meletakan tas ransel, lalu berubah
menjadi Ibu Inai)
Inai
anakku, Tanah ini… tanah leluhur kita. Di setiap jengkalnya mengalir darah
nenek moyang. Hutan bukan sekadar tentang pohon. Ia adalah jantung kampung kita,
penyeimbang kehidupan. Di balik setiap helai daun, di balik setiap kicauan
burung, ada harmoni yang rapuh. Jika mereka merusaknya, kita akan kehilangan
segalanya. Udara bersih, air jernih, tanah subur… semua akan pergi.
Aku
berharap kau, Inai. Teguh menjaga warisan nenek moyang kita ini. Terutama
Tampui, Inai. Jagalah Ia. Jagalah Inai.
(Ibu
Inai berubah menjadi Inai kembali. Musik sedih mengalun. Inai menatap kosong ke
arah penonton. Lalu mengambil kamera di dalam tasnya, memotret, memandang hasil
potretnya dan menangis)
Maafkan
aku Umai…Maafkan Aku…aku tidak bisa menemukan Tampui di sini Umai…Tampui
menghilang Umai…
(Bunyi
buldozer mencabik-cabik, suara-suara alat berat, mesin-mesin pemotong kayu
terdengar memekakkan telinga. Inai berlari kesana-kemari ketakutan dan bingung.
Inai berubah menjadi kontraktor perkebunan sawit)
(Berbicara
di telepon) Ya
Pak, beres!! Clear Pak! (Mematikan telepon) Tanah ini sudah kami beli!
Cepat pergi, sebelum buldoser kami datang meratakan semuanya! Ini tanah
produktif (Sambil memasukkan hp) Sawit akan tumbuh subur di sini, menghasilkan
pundi-pundi uang yang jauh lebih besar.
(Inai Mengepalkan
tangannya, namun suaranya tetap lirih)
Tanah ini…
tanah leluhur kami. Di mana Tampui?
Kalian telah membunuhnya? Ia adalah jantung kampung kami, penyeimbang
kehidupan.
(Kontraktor
menghentakkan kaki, dan menatap tajam)
Omong
kosong! Itu hanya mitos kuno. Dunia sudah berubah. Sekarang adalah era modern,
era keuntungan. Hutan hanya menghalangi kekayaan yang terpendam di bawahnya.
Emas, batu bara… semua akan kami gali untuk kemajuan! Tampuimu itu hanyalah
sebuah penghalang!
(Inai
mengerang, penuh amarah)
Manusia
serakah… apakah telingamu tuli pada rintihan bumi? Apakah matamu buta pada air
mata sungai yang mengering? Tampui adalah paru-paru kehidupan, kaki-kakinya adalah
penahan dari amarah banjir. Jika kalian terus membunuhnya tanpa henti,
keseimbangan akan hilang. Badai akan mengamuk, tanah akan longsor, dan kalian
sendiri yang akan menuai bencana.
(Kontraktor
tertawa mengejek)
Bencana?
Itu hanya omong kosong! Kami punya teknologi, kami punya uang untuk mengatasi
semuanya! Cepat atau lambat, semua hutan Kalimantan akan menjadi perkebunan dan
tambang. Itu adalah keniscayaan! Dan Tampuimu hanya akan menjadi dongeng
belaka.
(Musik
tegang menyala. Inai mengeluarkan foto dari dalam tasnya.)
Ini, ini
Tampui! Di mana kalian membuangnya. Dimana!!! (marah bercampur tangis putus
asa) kembalikan dia.
(Inai mengais-ngais
sisa-sisa tunggul pohon)
Kembalikan
dia pada tanah ini. Tanah leluhur kami. Hutan adat kami.
(Inai
putus asa karena tidak dapat mengenali Tampui lagi, dan tidak tahu di mana menemukan
Tampui lagi. Lalu mengambil foto yang terjatuh di tanah)
Kau saksi
bisu, Tampui. Kau melihat bagaimana mereka datang. Dengan janji-janji manis
tentang kemajuan, tentang kehidupan yang lebih baik. Mereka bilang, tanah kami
tidak produktif, hanya hutan belantara yang menghalangi kemajuan.
(Meletakkan
foto kembali. Dengan nada marah)
Kemakmuran
macam apa ini? Kemakmuran yang merenggut hutan kami? Kemakmuran yang menggusur
rumah kami? Mereka datang dengan mesin-mesin raksasa, dengan suara bising yang
memekakkan telinga, merobek-robek jantung bumi Kalimantan. Dalam sekejap, hutan
yang kami jaga selama bergenerasi, rata dengan tanah.
(Inai
terduduk di samping foto, air matanya mulai menetes. Suaranya bergetar memandangi
foto yang lusuh)
Aku tidak
bisa melindungimu, sahabatku. Kekuatanku sudah habis. Hatiku hancur
berkeping-keping melihat kehancuran ini. Aku hanya bisa berduka di sini. Merasakan
kesunyian yang mencekam, kesunyian yang akan menjadi teman setia tanah ini
setelah kau tiada.
(Inai
memeluk foto dengan erat.)
Kau adalah
Tampui terakhir. Setelah kau pergi, tidak akan ada lagi yang mengingat manis
asam buahmu, tidak akan ada lagi yang berteduh di bawah rindangnya daunmu. Kau
akan menjadi legenda yang terlupakan, seperti hutan kami yang hilang ditelan
kerakusan.
(Inai
mengangkat kepalanya, menatap ke depan dengan tekad yang membara.)
Biarkan
mereka membangun gedung-gedung tinggi mereka. Biarkan mereka menghitung
keuntungan mereka. Tapi mereka tidak akan pernah bisa merampas apa yang ada di
dalam hati kami. Mereka tidak akan pernah bisa mencabut akar yang telah
tertanam begitu dalam. Selama aku masih bernapas, selama jantungku masih
berdetak.
(Perlahan,
foto diperlihatkan kepada penonton)
Dia adalah
Tampui. Suara Tampui akan terus bergema di tanah ini. Suara perlawanan. Suara
kehidupan.
(Suara
gemuruh mesin tambang terdengar semakin dekat, bercampur dengan isak tangis
Inai)
SELESAI